Dari Kepuasan Pelanggan dan Profit Menuju Keberlangsungan Kehidupan dan Planet: Mengintegrasikan ESG dan Triple P ke dalam Kerangka Balance Scorecard (BSC)
Fenomena yang terjadi saat ini terkait tuntutan pasar dan gejolak sosial-lingkungan global, telah mendorong redefinisi secara fundamental paradigma tentang kesuksesan perusahaan. Selama beberapa dekade, Balance Scorecard (BSC) yang diperkenalkan oleh Kaplan dan Norton telah menjadi mercusuar bagi perusahaan, kalangan pebisnis, dan para eksekutif manajemen, mengarahkan mereka untuk menyeimbangkan metrik-metrik antar empat perspektif, yaitu keuangan, pelanggan, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Pendekatan BSC yang diimplementasikan dengan tepat telah mampu menyelaraskan strategi dan mengukur kinerja multidimensional. Hal tersebut memang telah terbukti revolusioner. Namun, apakah kerangka kerja ini masih cukup memadai untuk menjawab kompleksitas tantangan saat ini, seiring dengan meningkatnya urgensi perubahan iklim, melebarnya kesenjangan sosial, dan tuntutan yang tak terbendung terhadap akuntabilitas korporasi, jawabannya menjadi semakin jelas, bahwa kerangka BSC tidak lagi menjadi paripurna. Fokus eksklusivitas BSC kepada profitabilitas finansial atau kepada kepuasan pelanggan tidak dapat lagi berdiri hanya dengan penyeimbang proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan. Kini saatnya beranjak dari sekadar “bagaimana kita bisa mendapatkan keuntungan?” atau “bagaimana kita memuaskan pelanggan?” menuju “bagaimana kita bisa menciptakan dampak positif yang berkelanjutan bagi bisnis, planet, dan masyarakat?”. Ini adalah era di mana Environmental, Social, and Governance (ESG) dan Triple P (People, Planet, Profit) harus menjadi kompas utama. Saatnya membuka diri untuk adaptasi dan reorientasi kepada aspek yang lebih luas dan vital. (Widiyas Hidhayanto, 2025)
Environmental, Social, and Governance (ESG): Bukan Hanya Tentang Melakukan Hal Yang Benar, Tetapi Juga Tentang Melakukan Bisnis Dengan Lebih Cerdas
Dominasi pandangan bahwa tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan nilai pemegang saham telah lama menjadi tulang punggung kapitalisme modern. Namun, realitas global yang sarat krisis ekologi dan sosial memicu pergeseran paradigma. Riset menunjukkan bahwa investor, konsumen, karyawan, dan regulator kini secara aktif menuntut pertanggungjawaban yang lebih luas dari korporasi, melampaui sekadar laporan keuangan (Grewal & Serafeim, 2020; Eccles & Serafeim, 2013). Inilah titik tolak kemunculan ESG sebagai kerangka kerja komprehensif untuk mengintegrasikan pertimbangan non-finansial ke dalam strategi inti perusahaan, yaitu Environmental (Lingkungan), Social (Sosial), dan Governance (Tatakelola) atau disingkat ESG.
- Environmental (Lingkungan). Dimensi ini mencakup jejak karbon perusahaan, pengelolaan limbah, efisiensi energi, penggunaan sumber daya berkelanjutan, dan upaya konservasi keanekaragaman hayati (Elkington, 1997; UN Global Compact, 2000). Studi oleh Morgan Stanley (2019) menunjukkan bahwa dana investasi berkelanjutan mampu mengungguli dana tradisional selama periode krisis.
- Social (Sosial). Fokusnya adalah hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingan, termasuk praktik ketenagakerjaan yang adil, kesehatan dan keselamatan kerja, hak asasi manusia di seluruh rantai pasok, keamanan produk, dan keterlibatan serta dampak positif pada komunitas (Carroll, 1991; Porter & Kramer, 2006). Perusahaan dengan praktik sosial yang kuat cenderung memiliki moral karyawan yang lebih tinggi dan retensi talenta yang lebih baik (Bhattacharya et al., 2008).
- Governance (Tata Kelola). Aspek ini berkaitan dengan struktur kepemimpinan perusahaan, hak pemegang saham, transparansi, etika bisnis, dan manajemen risiko. Tata kelola yang kuat adalah fondasi integritas dan keberlanjutan perusahaan (Shleifer & Vishny, 1997; Gompers et al., 2003).
Mengadopsi kerangka ESG bukan lagi pilihan filantropis; ini adalah keharusan strategis. Perusahaan dengan kinerja ESG yang unggul cenderung menarik arus modal dari investor institusional yang semakin sadar ESG (Amel-Zadeh & Serafeim, 2018), mengurangi risiko regulasi, membangun reputasi merek yang kuat, dan secara signifikan meningkatkan kemampuan mereka untuk menarik serta mempertahankan karyawan berkualitas (Aguinis & Glavas, 2012). Singkatnya, ESG bukan hanya tentang melakukan hal yang benar, tetapi juga tentang melakukan bisnis dengan lebih cerdas.
People, Planet, Profit (Triple P): Sebuah Simfoni Keberlanjutan Mencapai Keseimbangan Harmonis
Konsep Triple P yang terdiri dari People, Planet, Profit yang dipopulerkan oleh John Elkington dalam bukunya “Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business” (1997), memperkuat gagasan bahwa kesuksesan sejati diukur dari tiga dimensi yang saling terkait. Triple P ini selaras dengan ESG.
- People (Manusia). Merefleksikan tanggung jawab perusahaan terhadap kesejahteraan karyawan, pelanggan, dan masyarakat luas. Ini mencakup tidak hanya kondisi kerja yang etis, tetapi juga kontribusi positif terhadap komunitas lokal (Porter & Kramer, 2011).
- Planet (Planet). Berfokus pada dampak ekologis perusahaan. Ini adalah tentang meminimalkan jejak lingkungan, mengelola sumber daya secara efisien, dan berinvestasi dalam solusi yang memitigasi krisis iklim (Rockström et al., 2009).
- Profit (Keuntungan). Meskipun tetap fundamental untuk kelangsungan bisnis, keuntungan ini harus dicapai melalui cara-cara yang etis dan berkelanjutan, tanpa mengorbankan manusia atau lingkungan. Ini adalah konsep “keuntungan bersih” yang memperhitungkan biaya eksternalitas (Elkington, 1997).
Triple P bukan tentang memilih salah satu dari ketiganya, namun tentang mencapai keseimbangan harmonis di antara ketiganya. Ini adalah menyadarkan bahwa profitabilitas jangka panjang hanya dapat terwujud jika perusahaan beroperasi secara bertanggung jawab terhadap manusia dan lingkungan.
.
Keterbatasan Balance Scorecard (BSC) di Era Baru: Mengapa Ekspansi Diperlukan
Meskipun BSC telah menjadi alat yang sangat berharga untuk mengoptimalkan kinerja internal dan menyelaraskan strategi, ada beberapa keterbatasan yang membuat BSC kurang memadai sebagai satu-satunya kerangka kerja di era ESG dan Triple P:
- Fokus Internal yang Dominan. BSC cenderung memprioritaskan metrik internal perusahaan dan bagaimana metrik tersebut berkontribusi pada tujuan finansial (Kaplan & Norton, 1992). Meskipun perspektif pelanggan dan pembelajaran & pertumbuhan ada, mereka masih sering dianalisis melalui lensa keuntungan perusahaan semata.
- Kurang Penekanan pada Eksternalitas Negatif. BSC tidak secara eksplisit mendorong perusahaan untuk mengukur atau bertanggung jawab atas dampak negatif eksternal, seperti polusi lingkungan, degradasi sosial dalam rantai pasok, atau pelanggaran hak asasi manusia (Schaltegger & Wagner, 2006).
- Potensi Silo Organisasi. Meskipun BSC dirancang untuk menyatukan berbagai perspektif, tanpa penekanan eksplisit pada keberlanjutan, departemen mungkin tetap berfokus pada metrik fungsional mereka tanpa sepenuhnya menginternalisasi atau berinvestasi dalam dampak holistik perusahaan pada ESG.
- Absennya Kerangka Etis Eksplisit. BSC, meskipun dapat diadaptasi untuk menyertakan metrik keberlanjutan, tidak secara inheren menyediakan kerangka etis yang kuat yang mengintegrasikan tujuan ESG ke dalam DNA perusahaan sebagai nilai fundamental, bukan hanya sebagai tambahan (Eccles et al., 2014).
Menata-bangun Harmonisasi Struktur Binsis: Integrasi ESG dan Triple P ke dalam Kerangka BSC
Mengintegrasikan ESG dan Triple P ke dalam kerangka BSC bukanlah tentang menghilangkan yang lama, melainkan tentang memperkaya dan memperluasnya. Kuncinya adalah transformasi yang harmonis dan bertahap untuk menghindari shock moment bagi karyawan dan pemangku kepentingan. Pendekatan yang inklusif, komunikatif, dan partisipatif sangat esensial (PWC, 2021). Kuncinya adalah mendefinisikan “mengapa” pergeseran ini penting—yaitu untuk meningkatkan ketahanan bisnis, daya saing, mitigasi risiko, dan daya tarik talenta baru—serta mendapatkan dukungan penuh dari kepemimpinan puncak yang konsisten mengomunikasikan visi inspiratif ini secara bertahap.
Integrasi ESG dan Triple P ke dalam BSC dapat dilakukan dengan memasukkan metrik-metrik relevan ke dalam setiap perspektifnya. Dari sisi Keuangan, kita bisa melihat efisiensi sumber daya dan penghematan dari inovasi hijau; di perspektif Pelanggan, kepuasan terhadap komitmen keberlanjutan dan persepsi merek ESG menjadi penting. Untuk Proses Internal, metrik seperti pengurangan limbah, rasio keberagaman karyawan, dan kepatuhan pemasok etis bisa diterapkan. Sementara itu, di dimensi Pembelajaran & Pertumbuhan, pelatihan keberlanjutan, inovasi hijau, dan metrik keragaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) menjadi fokus. Memulai dengan inisiatif “quick wins” dan menghubungkan tujuan ESG dengan kinerja individu akan membantu adopsi dan menunjukkan nilai, dengan terus beradaptasi tanpa mengganti seluruh sistem BSC yang sudah dikenal.
Untuk memastikan keberhasilan transformasi, partisipasi dan pemberdayaan karyawan sangatlah vital, misalnya melalui pembentukan tim lintas fungsi dan sesi ideasi inklusif. Pelatihan yang memadai dan pengakuan atas kontribusi mereka akan memupuk budaya yang mendukung keberlanjutan. Terakhir, transparansi dan akuntabilitas adalah pilar kepercayaan. Ini diwujudkan melalui publikasi laporan keberlanjutan komprehensif yang terverifikasi, dialog berkelanjutan dengan pemangku kepentingan, dan penetapan target ESG yang SMART (Spesifik, Metrik, Adaptif, Relevan, Terikat waktu). Dengan demikian, perusahaan tidak hanya mencapai keuntungan finansial, tetapi juga membangun reputasi, loyalitas, dan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.
Kesimpulan: Keuntungan Sejati Ada pada Dampak Berkelanjutan
Kita berada di ambang era baru dalam bisnis, merangkul visi yang lebih holistik di mana keberlanjutan, keadilan sosial, dan tata kelola yang kuat menjadi inti kesuksesan sejati. Kerangka Balance Scorecard telah menuntun dalam beberapa dekade, tetapi dunia yang dinamis ini menuntut kita berevolusi untuk redefinisi dan reorientasi agar lebih adaptif terhadap dinamika lingkungan dan sosial. Inilah saatnya bagi perusahaan untuk melampaui metrik internal dan menjadi agen perubahan positif. Ini adalah momen untuk menginternalisasi ESG dan Triple P, tidak hanya sebagai tren sementara, tetapi sebagai imperatif strategis dan moral yang tak terelakkan. Dampak positif bukanlah biaya yang harus ditanggung; itu adalah investasi yang menghasilkan keuntungan jangka panjang yang jauh lebih besar. Tidak hanya dalam hal finansial, tetapi juga dalam hal reputasi, loyalitas, inovasi, dan yang terpenting dalam hal masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua. esimpulan
Widiyas Hidhayanto
widiyas_hid@yahoo.com
Principal Consultant WIDINA management
Strategy, Costing, Finance, Accounting, Operation, Kaizen-Lean, Marketing, Information System
NEXT EVENTS