Unit Cost, Tarif Rumah Sakit, dan Klaim INA-CBG: Potensi Kesalah-pemahaman Sebagai Sumber Bias (Myopia) Posisi Untung-Rugi dan Likuiditas Rumah Sakit
Ketidaktepatan pemahaman terhadap konsep unit cost, tarif rumah sakit, dan mekanisme klaim INA-CBG sering kali menyebabkan bias dalam menilai kinerja keuangan rumah sakit. Kesalahan ini menciptakan ilusi untung-rugi yang tidak akurat dan berujung pada keputusan strategis yang keliru, terutama terkait likuiditas dan keberlanjutan pelayanan. Lebih parah lagi bila ilusi untung-rugi sengaja diciptakan untuk mengklamufase kinerja keuangan agar tampak baik, ini akan menjadi kanker tingkat akut bagi keberlangsungan rumah sakit. Artikel ini membahas konsep dasar dan relasi antar ketiga komponen tersebut, menjelaskan sumber miskonsepsi atau kesalah-pemahaman yang mengakibatkan bias, dampak myopia keuangan yang ditimbulkan, serta strategi korektif melalui pendekatan rasional dan berbasis data. (Widiyas Hidhayanto, 2025)
Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) rumah sakit dituntut mampu menyesuaikan diri dengan sistem pembayaran berbasis paket, yaitu Indonesia Case-Based Groups (INA-CBG). Namun, pemahaman yang keliru terhadap unit cost, tarif pelayanan, dan klaim INA-CBG kerap menjadi sumber bias dalam pelaporan dan analisis keuangan rumah sakit. Banyak rumah sakit mengklaim merugi atau merasa mendapat keuntungan berdasarkan selisih tarif dan klaim semata, tanpa mempertimbangkan dinamika biaya riil dan arus kas aktual.
Konsep Dasar Unit Cost, Tarif Rumah Sakit, dan Tarif INA-CBG
Unit Cost
Unit cost adalah biaya aktual yang dikeluarkan rumah sakit untuk memberikan pelayanan atu memproduksi satu unit layanan kesehatan tertentu, seperti satu hari rawat inap, satu tindakan medis, satu pemeriksaan, satu porsi, dan sebagainya sesuai satuan hitung volume pelayanan yang dihasilkan. Mekanisme perhitungan unit cost yang baik adalah yang sistematis, menggunakan formulasi perhitungan secara ilmiah, dan berdasarkan sumber daya data yang tertelusur. Unit cost merupakan hasil perhitungan per satuan volume pelayanan setiap jenis atau item layanan atau produk yang dihasilkan rumah sakit yang dihitung dari seluruh seluruh komponen biaya, baik biaya langsung maupun tidak langsung. Jangan sampai ada komponen biaya yang terlewatkan atas seluruh sumber daya yang digunakan rumah sakit, mulai biaya material farmasi (obat, alkes, bahan habis pakai) dan material non-farmasi (alat tulis kantor, alat rumah tangga, cetakan, dsb), sumber daya manusia (nakes dan non-nakes), pemeliharaan, energi (listrik, bahan bakar), air, komunikasi (telepon, pulsa, data, internet, dst), peralatan (sewa atau penyusutan), gedung dan bangunan (sewa atau penyusutan), dan biaya lain yang muncul dalam rangka operasional dan administrasi rumah sakit. Tidak pula hanya biaya yang muncul pada unit pelayanan, namun mencakup seluruh biaya dalam entitas rumah sakit, termasuk didalamnya biaya unit-unit penunjang dan manajerial.
Tarif Rumah Sakit
Tarif adalah imbal jasa atau harga yang ditetapkan rumah sakit untuk setiap jenis layanan, baik untuk pasien umum, pasien jaminan asuransi, atau pasien jaminan perusahaan. Penentuan tarif yang benar didasarkan oleh hasil perhitungan unit cost yang dilakukan secara objektif dan benar serta mempertimbangkan aspek pasar, daya beli masyarakat, serta kondisi perekonomian dan sosial di daerah dan sekitarnya. Tidak serta-merta tarif rumah sakit harus lebih besar dari unit cost, atau unit cost yang terlalu besar langsung dianggap salah hitung tanpa menelusur dan mencari tahu faktor dan elemen penyebabnya. Produk layanan rumah sakit sangat kompleks dan tidak bisa semuanya menghasilkan margin positif, terdapat produk layanan tertentu yang harus siaga tersedia meski tingkat pemakaiannya rendah sehingga nilai unit costnya sangat tinggi. Portofolio produk ini harus dipahami dan dilihat secara menyeluruh sehingga rumah sakit tidak dapat mengejar keuntungan dari per masing-masing produk layanan, melainkan merupakan percampuran (mix) potensi untung-rugi dari seluruh produk layanan rumah sakit. Khusus untuk pasien program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola melalui BPJS-Kesehatan, mekanisme pembayaran untuk pasien rawat jalan menggunakan sistem paket per kali kunjugan dan untuk pasien rawat inap menggunakan sistem paket per episode perawatan tarif INA-CBG. Tarif untuk pelayanan pasien JKN BPJS-Kesehatan ini ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, bukan ditentukan oleh rumah sakit. Pihak rumah sakit hanya bisa menetapkan tarif untuk pasien umum. Sedangkan tarif untuk pasien jaminan asuransi dan perusahaan seringkali berbasis pada tarif pasien umum namun biasanya terdapat penyesuaian nilai berdasarkan kesepakatan antara pihak RS dan pihak penjamin tentang nilai kontraktual atau tentang cakupan layanan yang dijamin.
Tarif INA-CBG
Tarif INA-CBG adalah skema pembayaran berbasis paket yang ditentukan berdasarkan kelompok diagnosis dan prosedur. Besaran klaim INA-CBG tidak mempertimbangkan variasi biaya aktual yang dikeluarkan rumah sakit, melainkan menggunakan pendekatan nasional yang bersifat normatif berbasis mekanisme perhitungan tertentu. Dalam sistem pembayaran berbasis INA-CBG, nilai klaim yang dibayarkan kepada rumah sakit tidak semata-mata ditentukan oleh layanan medis aktual yang diberikan atau total biaya faktual yang dikeluarkan, melainkan sangat ditentukan oleh proses clinical coding dan klasifikasi diagnosis-prosedur pasien. Inilah titik krusial yang seringkali menimbulkan jurang antara nilai tagihan berbasis tarif RS, nilai klaim yang diterima berbasis INA-CBG, dan nilai biaya riil faktual berbasis perhitungan unit cost.
Potensi Kesalah-Pemahaman yang Menimbulkan Bias (Myopia)
1. Menghitung Untung-Rugi Berdasarkan Perbandingan Tarif Rumah Sakit dan Klaim INA CBG
Beberapa rumah sakit membandingkan tarif rumah sakit dengan nilai klaim INA CBG untuk menentukan “selisih untung” atau “selisih rugi”, padahal tarif rumah sakit bisa tidak merefleksikan unit cost riil. Lebih parah lagi bila sampai ada yang menganggap nilai klaim INA-CBG yang diterima sebagai keuntungan bersih dari layanan, tanpa menghitung kembali apakah nilai tersebut mencukupi untuk menutup seluruh biaya aktual. Ini menyebabkan myopia finansial dalam menilai kinerja unit layanan.
2. Menyamaratakan Semua Pasien dengan INA-CBG yang Sama
Tidak semua pasien dengan kode INA-CBG yang sama dilayani dengan tatalaksana klinis yang sama persis dan mengkonsumsi sumber daya yang sama. Variasi klinis dan kebutuhan layanan tambahan dapat membuat satu klaim “menguntungkan” dan yang lain “merugikan”, tetapi rumah sakit seringkali menilainya secara agregat, tanpa meninjau detail secara cermat. Pengenaan tarif INA CBG sangat tergantung proses coding yang dilakukan oleh petugas koder berdasarkan informasi medis yang tertuang dalam rekam medis pasien, seperti diagnosa utama, diagnosa penyerta, komplikasi, serta prosedur medis akan dikodekan sesuai dengan sistem ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9 CM untuk prosedur. Kombinasi dari kode-kode inilah yang menentukan grup INA-CBG dan bobotnya, yang kemudian menjadi penentu Tarif INA-CBG yang dikenakan kepada rumah sakit.
3. Mengabaikan Arus Kas (Cash Flow)
Rumah sakit yang fokus pada laporan akrual atau pencatatan berbasis klaim sering melupakan kemungkinan terjadinya keterlambatan pembayaran klaim, yang berdampak langsung pada likuiditas. Banyak rumah sakit tampak “menguntungkan di kertas”, tapi mengalami defisit arus kas yang parah. Terdapat rentang waktu antar empat titik waktu yang kritikal, yaitu saat kapan pelayanan diberikan kepada pasien dimana saat itulah sumber daya dikonsumsi dan menjadi biaya, saat kapan yang pelayanan telah diberikan tersebut memenuhi syarat untuk ditagihkan kepada penjamin (misal BPJS-Kesehatan sesuai tarif INA-CBG dari hasil grouper coding), saat kapan tagihan tersebut dinyatakan lolos verifikasi serta besaran nilai klaim diterima yang merupakan dasar pengakuan pendapatan dan piutang oleh runag sakit, dan saat kapan kas diterima atas pembayaran piutang klaim tersebut. Bila manajemen rumah sakit melakukan pengakuan pendapatan atas klaim terlalu dini akan mengakibatkan pencatatan pendapatan terlalu besar sehingga terjadi kesalah-pemahaman pada nilai pendapatan secara akrual. Bila pengakuan klaim tanpa didasari hasil lolos verifikasi maka nilai klaim yang diakui hanya menjadi ilusi tanpa dasar penagihan yang nyata. Selain itu, juga perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya penangguhan nilai klaim sehingga terjadi penurunan nilai klaim yang disetujui dari nilai yang diajukan. Selain itu, juga perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya pending klaim dan dispute klaim yang dapat mengakibatkan semakin panjangnya masa waktu sampai dengan klaim dapat diakui.
Dampak Myopia Keuangan terhadap Manajemen Rumah Sakit
1. Kebijakan Investasi yang Tidak Realistis
Manajemen yang terlalu dini mengakui pendapatan dan piutang atau terlalu percaya diri terhadap angka keuntungan berbasis selisih antara tarif dan klaim akan cenderung mengambil keputusan ekspansi atau investasi tanpa memperhitungkan kapasitas likuiditas riil. Hal ini akan sangat membahayakan likuiditas kemampuan menjamin operasional berjalan dan kemampuan menjamin kewajiban-kewajiban. Pada saat likuiditas riil tidak memadai, maka ekspansi dan investasi menjadi prematur apabila tanpa didukung sumber dana “segar” yang tidak bergantung pada realisasi penerimaan atas pendapatan rumah sakit. Bukan berarti manajemen rumah sakit harus menjadi pesimistis, namun justru harus optimis dalam batas-batas yang prudent bahwa terus berupaya melakukan pengembangan layanan rumah sakit secara terukur dan rasional berdasar analisa yang benar, objektif, dan tertelusur.
2. Ketidaktepatan Penilaian Kinerja Unit
Berpotensi terjadi hasil evaluasi yang menyesatkan apabila manajemen rumah sakit terlalu berorientasi melakukan penilaian unit kerja berdasarkan jumlah klaim atau selisih untung-rugi antara tarif dan klaim, bukan inti kualitas layanan dan kemampuan efektifitas aktivitas dengan sumber daya yang efisien. Akan menjadi sulit terukur bila pendapatan per unit kerja dipaksakan atas pasien JKN yang pembayarannya dengan sistem paket INA-CBG yang mencakup seluruh komponen pelayanan (tindakan, pemeriksaan, obat, alkes, BHP, akomodasi, gizi dan seluruh produk layanan lainnya yang diberikan) dari awal hingga akhir episode perawatan. Apabila nilai tarif digunakan sebagai proksi pendapatan juga akan menjadi kurang tepat, karena bukan merupakan dasar pengenaan klaim INA-CBG. Lebih tepat bila unit kerja tidak dipandang sebagai revenue center, melainkan product center sehingga orientasi lebih pada kemampuan menghasilkan layanan yang berkualitas serta pada efisiensi yangd apat ditunjukkan dengan kemampuan menekan angka unit cost per setiap produk layanan yang dihasilkan unit tersebut. Namun hal ini juga jangan disalah-artikan bahwa unit kerja ditekan unit costnya, anggaran biayanya dikurangi tanpa rasionalitas yang jelas. Yang tepat adalah membangun kemampuan unit kerja agar unit tersebutlah yang mampu menekan unit cost, sehingga setiap komponen sumber daya yang digunakan akan dioptimalkan secara efektif agar nilai konsumsi biaya yang digunakan menjadi efisien. Proses self-efficiency ini akan menjadi salah satu elemen penilaian kinerja dan pemberian reward. Bila self-efficiency berjalan alami, maka secara tidak langsung akan memberikan sumbangsih pada cash flow yang lebih baik.
3. Krisis Keuangan Terselubung
Ketika akumulasi piutang klaim membengkak berarti terjadi mismatch yang terlampau tinggi antara pendapatan yang diakui dan realisasi kas. Bila manajemen rumah sakit tidak menyadari hal ini tanpa persiapan mitigasi risiko yang memadai makan rumah sakit bisa mengalami krisis likuiditas. Ironinya bila hasil laporan laba-rugi menunjukkan performa yang baik, namun umur piutangnya panjang sekali dan rasio likuiditas kas nya tidak baik. Hal tersebut akan menjadi krisis keuangan yang terselubung. Secara jangka panjang mungkin ada harapan bahwa piutang yang membengkak tersebut akan cair dan menjadi potensi kas masuk di periode ke depan. Seolang seperti menanam tabungan di piutang. Namun secara jangka pendek akan berbahaya bila mana kas yang tersedia sangat terbatas atau bahkan tidak mencukupi kebutuhan biaya operasional rutin dan pembayaran tagihan jatuh tempo.
Strategi Korektif: Pendekatan Rasional dan Berbasis Data
1. Perhitungan Unit Cost yang Komprehensif
Rumah sakit perlu menyusun perhitungan unit cost yang valid dan komprehensif atas semua komponen sumber daya yang digunakan dalam rangka menghasilkan produk layanan. Pemilihan metode yang tepat dan relevan, seperti activity based costing, menjadi penting mengingat inti dari pemberian layanan kesehatan adalah jasa, dan inti dari seuatu jasa adalah rangkaian ativitas-aktivitas yang saling berinteraksi menggunakan serangkaian sumber daya. Hasil analisis perhitungan unit cost dapat menjadi menjadi dasar untuk menentukan tarif realistis. Akumulasi unit cost atas produk layanan yang diberikan selama episode perawatan per pasien secara spesifik akan menhasilkan nilai cost of care yang dapat diperbandingkan dengan nilai klaim INA-CBG untuk menghasilkan analisa untung-rugi secara lebih spesifik dan objektif.
2. Peninjauan Berkala Rasionalitas Tarif Rumah Sakit
Proses penyusunan tarif rumah sakit bukan merupakan sesuatu yang instan dan bersifat statis. Penentuan tarif yang benar didasarkan oleh hasil perhitungan unit cost yang dilakukan secara objektif dan benar serta mempertimbangkan aspek pasar, daya beli masyarakat, serta kondisi perekonomian dan sosial di daerah dan sekitarnya. Bila mana tarif tidak pernah ditinjau ulang minimal satu tahun sekali dengan menganalisis gap antara tarif dan unit cost (yang update) maka yang terjadi adalah analisis pendapatan-biaya kurang tajam dan cenderung bias karena tidak didukung data yang memadai dan relevan. Tinjau ulang penting, karena pergerakan harga sumber daya di pasar terus bergerak setiap periode, misal dalam satu tahun dapat terjadi kenaikan harga material (farmasi dan non-farmasi), upah minimum dan gaji, tarif daya listrik, dan berbagai harga lainnya. Bisa dibayangkan jika tarif rumah sakit konstan selama bertahun-tahun dan tidak diikuti strategi-strategi cerdas dalam upaya efisiensi maka rasionalitas nilai tarif tersebut akan tergerus oleh pergerakan kenaikan harga sumber daya. Ditinjau ulang bukan berarti harus berganti baru dan juga bukan suatu ajakan untuk terus menaikkan tarif, namun merupakan upaya meninjau rasionalitas tarif untuk dapat menarik kesimpulan strategi-strategi cerdas dalam hal pengelolaan sumber daya yang produktif, proses pelayanan dan proses bisnis yang efisien, dan merancang produk dan prosedur layanan yang efektif.
3. Analisis Margin Kontribusi dan Break-Even
Bila rumah sakit memiliki hasil perhitungan unit cost, dan bukan sekedar angka unit cost saja, melainkan suatu rangkaian proses perhitungan dan penelusuran data yang komprehensif, maka rumah sakit akan memiliki ragam puzle unit cost yang dapat dirangkai sesuai kebutuhan analisa. Dengan merangkai dalam rangkaian elemen biaya tetap dan biaya variabel pada setiap produk layanan, maka dapat dilakukan evaluasi layanan berbasis margin kontribusi per unit layanan dan analisis titik impas (break-even analysis) secara lebih spesifik per masing-masing produk layanan seperti tindakan, pemeriksaan, akomodasi, gizi, dan seterusnya. Dengan demikian akan sangat membantu memberikan gambaran yang lebih realistis tentang profitabilitas tiap layanan.
4. Manajemen Arus Kas Proaktif
Fokus pada manajemen arus kas, idealnya manajemen melakukan upaya mempercepat klaim, memitigasi penundaan pembayaran, dan menyusun proyeksi kas jangka pendek dan menengah harus menjadi bagian dari kontrol manajerial rutin. Manajemen harus selalu pro aktif dan sensitif terhadap hal yang menyangkut arus kas. Meski beberapa hal menjadi kendala dan seringkali diluar kendali manajemen rumah sakit, misalnya lama periode pencairan klaim atas pasien JKN, terutama kasus pending dan dispute yang sangat dipengaruhi oleh proses pada pihak BPJS Kesehatan. Potensi risiko seperti ini yang harus dipikirkan upaya mitigasinya, bagaimana suplai kas tetap memadai, dan bila mana harus menggunakan sumber pendanaan sementara seperti hutang dengan skema suplai-chain-financing harus digunakan pada lingkup terbatas, disiplin pengembalian, dan mampu dijamin dengan potensi piutang klaim yang masih dalam proses pencairan.
5. Audit Internal atas Perbedaan Biaya Aktual dan Klaim
Membentuk tim audit untuk menelaah secara periodik perbedaan antara unit cost dan klaim INA-CBG, serta mengkaji penyebab varians sebagai dasar peningkatan efisiensi. Tidak menutup kemungkinan tim ini perlu melakukan langkah investigasi mendalam jika ditemukan data-data yang janggal atau anomali kejadian untuk menggali akar pemasalahan dan potensi dampak yang ditimbulkan. Bukan berorientasi mencari kesalahan atau menunjukan siapa yang salah, melainkan menggali apakah ada sesuatu yang salah, atau mungkin sesuatu yang sudah benar tetapi ternyata sudah tidak relevan lagi. Menggali peluang untuk perbaikan berkelanjutan agar penyebab varians dapat kenali, dimonitor, dan dimitigasi dampak risikonya. Selain itu juga memberikan rekomendasi perbaikan agar efisiensi dapat ditingkatkan tanpa mencederai mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan nilai-nilai pelanggan.
Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Keuangan RS yang Sehat dan Cerdas
Miskonsepsi tentang unit cost, tarif tumah sakit, dan klaim INA-CBG dapat menyesatkan manajemen rumah sakit dan menimbulkan jebakan myopia finansial. Untuk keluar dari jebakan ini, diperlukan literasi keuangan yang tinggi, data costing yang valid, serta integrasi informasi akuntansi manajemen dan akuntansi keuangan secara seimbang baik secara akrual maupun kas basis. Dengan demikian, rumah sakit dapat merumuskan kebijakan yang lebih cerdas, menjaga likuiditas, dan memastikan keberlanjutan layanan di tengah dinamika sistem pembiayaan kesehatan nasional.
Widiyas Hidhayanto
widiyas_hid@yahoo.com
Principal Consultant WIDINA management
Strategy, Costing, Finance, Accounting, Operation, Kaizen-Lean, Marketing, Information System
NEXT EVENTS